TERLAMBAT MENGKHITBAH

Label:

 
“Himmah!!” panggil Shofwan dengan nada tegas. Alhamdulillah wisuda ku hari ini lancar, kebetulan ada sedikit rezeki, hari ini kita makan yuk?

“Wah syukur deh, mau makan dimana? Terserah antum ya, kan antum yang ngajak. Hehe,” setuju Himmah dengan sedikit tertawa lepas.

“Kita ke depot soto aja, di sana kan ada Kang Rudi, mantan ketua organisasi Islam di kampus ana dulu, sekaligus silaturahim,” ucap Shofwan dengan mantap.

“Oke deh, ana nurut sama yang udah dapat gelar S-1 aja,” canda Himmah lagi.

Mereka berdua memang sahabat akrab, Shofwan seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran sedangkan Himmah mahasiswa Fakultas MIPA. Mereka kenal sejak semester satu lalu, ketika ada kegiatan oleh lembaga dakwah kampus.

Ketika sampai di depot, mereka langsung disapa oleh Kang Rudi dan langsung pesan masing-masing soto ayam plus es teh.

“Wah tumben kemari, ada yang ulang tahun ya?” canda Kang Rudi.

“Wah gak kok Kang, ini Shofwan ngajak makan, barusan beliau baru wisuda,” ucap Himmah sambil ngelirik ke arah Shofwan.

“Alhamdulillah, selamat ya Akh. Oo ya katanya antum mau nikah setelah lulus ini kan?” tanya Kang Rudi dengan sedikit candaan.

“Duh jadi malu Kang. Doakan aja ya semoga lancar,” pinta Shofwan.

“Wah antum tega Akh, kok gak pernah bilang ke ana siapa calonnya, kita kan sohib,” ucap Himmah penasaran.

“Tenang saja Insya Allah antum bakalan tahu juga kok,” rahasia Shofwan.

Himmah langsung ingat dengan salah satu akhwat yang ia sukai dan ingin ia khitbah layaknya Shofwan yang tinggal menunggu waktu saja.

“Jangan lupa tuh tetap selalu jaga hatimu buat dia,” pesan Kang Rudi.

“Iya Kang syukron. Akang sendiri kapan nih?” tanya Shofwan.

“Wah nanti lah, setelah jualan soto ini mulai berkembang pesat, baru rencanain ke walimahan, hehe,” jawab Kang Rudi dengan senyum yang khas.

“Kang kami sambil makan ya?” tawar Himmah.

“Iya tafadhol,” ucap Akang.

Himmah mulai terbayang untuk mengikuti jejak Shofwan, ia mulai mengingat kembali wajah sang akhwat, siapa lagi kalau bukan Nida. ”Jikalau aku sudah siap, Insya Allah aku akan mengkhitbahnya,” ucapnya dalam hati.

Lamunan Himmah terhenti sejenak, ”Kenapa antum Him? Kok melamun? Insya Allah ana nikahnya Hari Jumat depan dan walimahannya hari minggu, datang ya?” pinta Shofwan kepada Himmah dan Kang Rudi.

“Iya Shof, Insya Allah,” jawab mereka berdua.

Beberapa hari kemudian, saat hari H tiba. Himmah yang sedari tadi melihat keadaan mesjid terasa iri dengan sahabat sejatinya itu dan setibanya di dalam Himmah duduk dengan tenang. Penghulu pun mulai mengucapkan akad nikah dan ketika itu sang bapak wali dari sang mempelai wanita mengucapkan, “Saya nikahkan anak Saya Nida Rhimma Auliya Binti Muhammad Nuh….”

Himmah tesentak kaget. Ia mulai mencari sosok akhwat yang mempunyai nama indah itu. Ia pun langsung terdiam dan terasa lemah. Sebenarnya akhwat itu adalah pilihan yang akan ia khitbah nanti lewat murabbinya. Ia langsung keluar menuju kamar mandi Mesjid. Di cermin ia lihat wajahnya dengan tetesan air mata, “Kenapa aku jadi menangis, Ya Robb pilihanku sudah diambil oleh sahabatku. Aku tak tahu sebelumnya. Aku tidak boleh kalah oleh perasaan, tapi kenapa takdir ini begitu cepat rasanya. Apa aku harus rela?”

Dua hari kemudian, tepatnya di acara Walimah Arsy, Himmah memenuhi undangan sahabatnya, ia merasa iri dengan Shofwan. Akhwat yang ia inginkan sudah menjadi milik Shofwan, Nida adalah seorang akhwat yang alim, cerdas, bijaksana dan memiliki jiwa keibuan yang luar biasa. Indah bila dipandang.

Himmah hanya bisa berjalan dengan senyum khasnya ke arah kedua mempelai untuk mengucapkan selamat. Ia merasa keterlambatannya untuk mengkhitbah Nida bukan kesalahan, ia pasrah karena semua sudah takdir dari-Nya. Ia tidak mau larut dalam kesedihan. Semua pasti ada hikmahnya dan ada yang lebih baik untuk dirinya kelak. Himmah pun tak merasa dirinya tertinggal, ia terus berikhtiar dan berdoa untuk mendapatkan seorang bidadari yang lebih baik.

Muhammad Ery Zulfian  
(Cerpen ini terbit di SERAMBI UMMAH, JUMAT 03 DESEMBER 2010)

0 komentar:

Posting Komentar