SEPENGGAL CERPEN YANG AKAN DIBUKUKAN

Label:


Pagi hari nan cerah, terjadilah sebuah dialog unik via telepon antar kakak beradik yang disinyalir keras sebagai pentolan aktivis dakwah. Mereka berdua sangat akrab, terlebih kalo sudah urusan ngobrol. Pastinya nggak ada yang bisa memberhentikan mereka. Kalo sudah “perang” mulut, tak ada yang mau ngalah. Kedua-duanya bersikukuh untuk menjadi pemenang sekaligus menjaga image masing-masing. Waktu itu HP sang adik dari meja belajarnya bersuara lantang. Pertanda ada panggilan masuk. Ia pun segera mengangkat dan…
“Assalamu’alaikum, Dik,” ucap suara yang ada di seberang.
“Wa’alaikumsalam Kak, tumben nih nelepon. Pasti ada maunya?” jawab sang adik penuh curiga yang ternyata suara di seberang itu adalah suara kakaknya.
“Iya... iya... Dik, kakak ada maunya. Ngomong-ngomong Gimana kabarnya nih?”
Alhamdulillah khoir, Kak. Kakak sendiri gimana?”
Luar biasa Alhamdulillah sehat wal’afiat. Kalau kabar abi dan umi?”
“Alhamdulillah juga baik, Kak.”
“Oo ya gimana kuliahnya lancar?”
Sip masih lancar kok, tapi…”
“Oo kakak tahu, tapi... masalah uang bulanan kan? Hehe. Sip deh, uang bulanan kamu segera Kakak transfer lebih cepat daripada biasanya.”
“Horeeeee....” senang sang adik sambil loncat-loncat.
“Eits tunggu dulu, tapi ada syaratnya,” lanjut sang kakak.
“Lho kok pakai syarat segala, Kak? Kayak kartu prabayar aja, hehe.”
“Ya iya dong. Syaratnya gampang kok.”
“Oke deh. Apaan Kak, buruan!!!”
“Gini lo, Kakak kan sudah 25 tahun nih, tahu kan Nabi Muhammad sendiri nikah saat umur 25 tahun, so kakak pengen....”
“Hahaha, Ana tahu, pasti pengen carikan pendamping hidup kan? Yang gimana kriterianya, yang 40 tahunan kayak Siti Khadijah yak,” tawa Sang Adik membahana.
“Mmm, jangan deh, hehe. Kalo urusan umur yang sudah uzur Kakak nggak mau nyoba dulu, ada alternatif lain?”
“Oo gitu ya, loh-loh tunggu dulu, emang target yang kemarin gimana, Kak?”
“Akhwatnya masih belum bisa dulu katanya, masih mau nyelesaiin skripsi. Kira-kira 1 tahun lagi, baru bisa. Kalau nunggu 1 tahun lagi kan kelamaan, pengen yang cepat aja, Dik. Express, biar nggak jatuh ke zina.”
“Oo gitu toh, kalau teman Ana sih banyak. Mau cari yang kayak siapa?”
“Yang kayak Agnes Monica, ada?”
“Huwaaa, Ana bilangin sama abi lo kalo cari yang nggak pake jilbab.”
“Hehe, becanda Dik, yang kayak Mba Asma Nadia aja, boleh kan?”
“Haaahh? Mba Asma Nadia?” mata Sang Adik membundar, kaget setengah hidup. Untung sang kakak tidak melihat ekspresinya waktu itu.
“Ada Kak, tapi masih mau ngerampungin bukunya dulu. Katanya sih 1 tahun lagi baru selesai, hehe,” lanjut sang adik cekikikan mirip suara kuntilanak.
“Ya sudah, kalo memang nggak ada juga, ya minimal yang kayak Kakak telepon ini aja akhwatnya, kan lumayan sholehah,” ucap Sang kakak memuji.
“Apppa? Woii insyaf Kak, ini kan zaman orde baru, kita kan saudara kandung.”
“Duileee marah, kan kata kakak minimal. Bukan berarti adik sendiri yang diembat. Dosa tahu.”
“Kalo yang seperti Ana sih, nggak ada. Limited edition, coba cari aja di pasar loak, pasti nggak dapat,” sang adik mulai melawan dan narsis.
“Yaaah, kok gitu, Dik. Padahalkan kamu satu-satunya mak comblang yang bisa diharapkan. Kakak menyerahkan semuanya padamu, Dik. Pernah waktu itu teman kerja kakak nawarin diri untuk nyariin satu akhwat. Tapi, kakak tolak mentah-mentah tawarannya. Kakak selalu bilang, “Terimakasih ya, Ana sudah punya mak comblang yang setia, dia adalah adik Ana sendiri, gitu.”
Sang Adik terdiam kemudian sambil menarik nafasnya dalam-dalam, ia berpikir sejenak dan berucap dalam hati, “Kira-kira yang kayak gimana ya kriteria akhwat unuk Kakak Ana ini. Susah juga carinya.”
“Kok diam, Dik? Lagi  ngaca ya, ngelihatin wajah sendiri. Eits, kakak nggak menomorsatukan kecantikan kok, jelek juga nggak papa, tapi tolong, jangan terlalu jelek-jelek amat ya. Masa tega sama kakak sendiri. Kan ceritanya mau memperbaiki keturanan.”
“Oo iya kak, hoho. Gampang deh, pokoknya yang serasi. Kakak kan ganteng, berarti harus cari yang cantik. Hueks.”
“Apa, Dik? Coba ulang sekali lagi kata-katamu yang terakhir tadi?”
“Kakak kan ganteng, berarti harus cari yang cantik. Hueks.”
“Kok ada hueksnya segala. Tapi, Alhamdulillah baru kali ini ada orang yang bilang kalo Kakak ganteng, hihi. Meskipun masih ada embel-embel hueksnya di belakang. No problem.”
“Yeee... Dasar nih punya kakak ikhwan pede banget,” ucap sang adik agak gondok.
“Nah, ya sudah, buruan cariin ya. Waktunya Kakak kasih satu minggu, oke. Ingat satu minggu, kalo lewat dari itu. Anggap aja tidak ada pencairan dana perkuliahan untuk sementara waktu, haha,” ancam sang kakak.
“Wah Kakak tegaaa. Bilangin sama abi lo entar.”
Tuuut... Tuuut... Tuut... Telepon terputus untuk sementara waktu karena ada gangguan jaringan (pikir penulis). Sesaat kemudian pembicaraan berlanjut kembali.
“Loh kok dimatiin, Dik? Kamu marah ya?” tanya sang kakak.
“Nggak Kak. Tadi nggak sengaja tepencet, hehe.”
“Oo gitu toh. Eh ngomong-ngomong Kakak sudah bisa lo ngangkat galon isi air ulang sendirian ke dispenser.”
“Lha apa hubungannya, ceritanya sudah jago gitu ya, jadi militan? Huuuh gitu aja pamer, emang sudah siap ditransfer ke Afghanistan atau Palestina?”
“Nah, itu dia. Belum, Dik. Hoho.”
“Eh kelupaan, jenggot Kakak sudah agak panjangan lo,” lanjut sang kakak lagi-lagi pamer fisik.
Gubrak!!! (Suatu adegan di mana sang pendengar atau lawan bicara jatuh ke lantai).
“Apa hubungannya, Kak. Ngangkat galon isi ulang air sama jenggot? Mau jadi artis biar dicari-cari sama densus 88 itu ya alias teroris!”
“Haha, kamu bisa aja. Kalau sudah jenggotan, berarti kan kakak sudah ngamalkan sunah nabi.”
Tiba-tiba sang adik nyerang balik dengan mengganti topik, “Eh Kak, tapi kalo entar Ana yang nikah duluan gimana? Boleh?”
“Wah-wah serius nih, silakan aja, Kakak setuju aja sih. Biar kamu cepat dewasanya. Tapi tunggu dulu, emang sudah ada calonnya? Hehe. Terus kalaupun ada, tuh calon memang mau ya sama kamu?” ledek sang kakak.
“Alhamdulillah pasti mau kok, tapi beneran nih Kak diizinin?” tanya kembali sang adik.
“Silakan aja, nggak ada yang ngelarang ko. Asal abi setuju aja. Selain itu  Kakak bakalan berembuk sama abi, nyusun strategi jitu untuk nyiapin beberapa pertanyaan interview untuk calon kamu, kalau bisa setelah interview sih ada tes tertulis dan tes psikologinya, haha.”
“Haaah? Masa ngelamar Ana, kayak ngelamar pekerjaan aja? Oke. Baiklah, asalkan pertanyaannya nanti jangan susah-susah ya. Kan kasihan kalo dianya nggak bisa jawab. Entar ujung-ujungnya adik Kakak yang cantik ini sendiri yang nggak nikah-nikah.”
“Halaaah nggak usah khawatir, sampai kamu berumur 40 tahun juga masih laku kok, cekakak.”
“Dasar Kakak yang jahat! Nggak mau ngelihat adiknya bahagia.”
”Eh... Eh... Becanda kok. Oo ya sudah lama kita nggak ngobrol kayak gini ya?”
“Iya kak, kapan nih pulang ke Jakarta?” tanya sang adik.
“Insya Alloh setelah proyek Kakak selesai, doakan ya, Dik.”
            “So pasti dong Kak, asal uang bulanan ngalir terus ke bank Ana, hehe.”
“Ya sudah, jangan lupa sama janjinya yang tadi. Carikan satu akhwat saja, jangan banyak-banyak. Entar Kakak nggak bisa adil. Hoho.”
“Hedeeeh, iya Kak, Insya Alloh. Nanti kalau sudah dapat, Ana telepon atau sms.”
“Wah, thanks berat ya, Dik. Ya sudah, mohon maaf kalau ada kata-kata kakak yang salah. Kakak pamit dulu, Assalamu’alaikum.”
“Iya Kak, sama-sama, Ana minta maaf juga ya. Wa’alaikumsalam.”
Oke, itulah obrolan singkat via telepon yang sampai berdurasi kurang lebih sekian-sekian menit antara kakak beradik yang bertemakan pencarian jodoh. Dan tentu teleponannya nggak gratis ya, soalnya dari kota Bandung ke Kota Jakarta.

Nah, mau tahu kisah selanjutnya? Beli aja buku antologinya nanti pas sudah keluar... Dijamin seruuuu. Insya Alloh =) 
~Muhammad Ery Zulfian~

0 komentar:

Posting Komentar