Oleh: Muhammad Ery Zulfian
Oktober, Jumat 13.00 WITA, sungguh istimewa.
Tiket Banjarmasin-Surabaya sekarang kutatap dengan manja. Sama seperti kedua
temanku, Sandri dan Faishal. Dua anak mahasiswa Fisika ini terlalu bersemangat
sekali ketika tiba di Bandara Syamsudin Noor. Ya, beberapa waktu lagi kami akan
menaiki burung berjubah besi. Bagiku ini bukan yang pertama kalinya, tapi bagi dua
orang temanku itu akan menjadi pengalaman yang pertama. Saat check in, kami pun
menyerahkan tiket dengan sumringah kepada petugas. Tak ayal bagi Sandri dan
Faishal berkhayal keras untuk sesegera mungkin terbang ke angkasa melewati
awan-awan cantik. Dan apa yang terjadi setelah itu, sang petugas mengabarkan
bahwasanya jadwal pemberangkatan kami diundur 6 jam lagi. Oh my God. Kulihat
seberkas ekspresi wajah mereka berdua begitu menyedihkan. Tidak sabar akan
menaiki burung besi itu untuk pertama kalinya dan menginjakkan kaki di pulau
seberang. Kata orang, menunggu itu adalah hal yang paling membosankan. Tapi,
tidak untuk kali ini. Celoteh-celoteh yang keluar dari bibir Faishal membuat
suasana menjadi ngelantur ke mana-mana. Hasil sempurna dari kegantengan
wajahnya juga sangat membantu untuk sabar dalam hal menunggu. Ditambah lagi
celoteh ciamik dari si Sandri. Khas hulu sungainya sangat tajam dan dalam.
Hehe… sehingga suasana menjadi cair, tak beku seperti suasana di meja dewan.
Usai menunggu
lama dengan ditemani lelucon-lelucon dari mereka. Tibalah saat yang dinanti.
Kami akhirnya terbang jua. Ada kejadian lucu di dalam pesawat. Ini terlihat
ketika mereka berdua tidak bisa melepas sabuk pengaman. Hehe… Ssssttt,
sebenarnya ini tidak boleh diekspos (takut digebukin mereka). Juanda akhirnya
terlihat walau malam sudah semakin larut. Aneh, kami masih bersemangat. Asrama
kalsel adalah tujuan kami setelah turun di Juanda. Dengan taxi super cepat kami
akhirnya merayap melalui jalan-jalan kecil, dan menghirup bebas udara Kota
Surabaya. Tidur di kamar kakak angkatan (Mr. saukani) adalah sesuatu yang
membahagiakan. Why? Ya, kapan lagi kami bisa mendengar kisah-kisah penuh
motivasi dari beliau yang sekarang sedang mengeyam di bangku S-2 ITS. Apalagi
ada Budi (teman seangkatan kami yang juga sedang berjuang mendapatkan titel S-2)
yang ikut nimbrung.
Tiga hari
berjalan-jalan di Surabaya sepertinya sudah cukup, dengan sedikit mengumpulkan
foto-foto yang cukup fenomenal, hehe… Seperti berfoto di bawah tugu ikan sura
dan buaya, kapal selam, dan lain-lain. Dan tiba saatnya untuk kami berkeliaran ke
kota selanjutnya. Yaitu, kota pendidikan, Yogyakarta.
Stasiun
Gubeng menjadi saksi bisu kami, mungkin bisa dikatakan seperti itu. Karena kereta
api dari stasiun itulah yang mengantarkan kami selamat sampai Yogyakarta. Sekitar
7 jam perjalanan yang melelahkan, apalagi tidak bisa tidur lantaran banyaknya pengais
rezeki yang lalu-lalang di lorong kereta api sambil berteriak keras nama merk
jajanannya. Sebut saja seperti, kerupuuuk kerupuuuk. Tahuuuu tahuuuu, nasi uduk
nasi uduuuk, masih hangat looo… Ah, pokoknya mirip kayak pasar.
Jam 4 sore
WIB, kami berhasil menginjakkan kaki di Yogyakarta. Cantik kali kota itu. Bila diibaratkan,
bisa jadi Banjarbaru adalah pangeran, danYogyakarta adalah permaisurinya. Mereka
mungkin dulu pernah pacaran secara LDR, hehe… Yogyakarta sangat berbeda dibandingkan dengan
kota-kota lainnya (menurutku). Entah mungkin terdapat magnet di bawahnya,
sehingga kita ingin kali menetap untuk selamanya di sana (duuuh lebay nya,
mudah-mudahan si sultan membaca tulisan ini, biar saya dibuatkan rumah dan
menetap di kota itu, hehe)
Tak tahu
kenapa aku begitu penasaran dengan kota yang satu ini. Apalagi saat mendengar
cerita-cerita dari teman, bahkan lagu-lagu yang bertemakan Yogyakarta, seperti
lagu Ungu yang terbaru itu. Mungkin Yogyakarta sudah mulai sananya menyimpan
romansa yang dapat menarik orang ke dalam atmosfernya. Sebut saja, seperti tempat
wisatanya yang bertebaran di mana-mana, baju-baju berjejeran yang harganya seperti
kacang rebus, kuliner yang enaknya bukan main, santapan buku-buku murah penuh gizi,
dan penerbitan buku yang menjamur.
Esoknya,
setelah menginap satu malam di asrama Kalsel di Yogyakarta, tepatnya di Jalan
Samirono Baru, Colombo, kami jalan-jalan ke UGM, dan tidak lupa merasakan
nikmatnya udara di Jalan Malioboro (Jalan legendaris kata banyak orang), Taman
Sari, Keraton (walau cuman di muka pagarnya doang dan berfoto dengan dua orang
mbah ndalem, hehe), pasar Beringharjo, Shoping Center, Alun-alun kota, Benteng
Vredeburg, dan sempat-sempatnya berfoto di depan pagar kantor gubernur, hehe… Semuanya
itu kami sambangi dengan menunggangi bus Trans Yogyakarta (Dengan merogok 3000
rupiah saja dari saku, maka Anda sudah bisa berkeliling Kota Yogyakarta
sepuasnya, asyik euy).
Alhamdulillah,
pengalaman ini sungguh luar biasa. Bagiku Yogyakarta mampu menyihir otak si
pendatang baru. Inilah yang mungkin tidak semua orang bisa nikmati. Maka
pantaslah aku bersyukur. Tiket pesawat PP sudah murah banget, eh bisa
jalan-jalan pula ke kota yang punya banyak sejarah ini.
Dan
akhirnya waktu jualah yang memisahkan kami. Empat hari di sana kami lantas
pulang kembali ke Surabaya dan kemudian balik ke Banjarbaru dengan membawa
oleh-oleh untuk sanak keluarga.
“Berkelanalah, maka
Anda akan mengenal lebih luas ciptaan Allah. Lalu tulislah, semoga bisa menjadi
pelajaran buat orang lain.”
ngeeeeeeeeeeeeekkkkkkkkkk....